white flag?
-karena tepuk tangan pun membutuhkan 2 tangan dan berjalan
membutuhkan 2 kaki
Saat dimana lo diminta memulai sesuatu yang gapernah lo
jalanin.
Saat dimana lo merasa tertantang untuk menjalani apa yang lo
sendiripun ga berani ambil akibatnya
Saat dimana lo yakin kalo hal ini bisa bikin lo jadi dewasa
Saat dimana lo mengangkat kepala lo dan dengan lantang
menjawab ‘iya’ untuk memulai
Hal ini bener-bener hal baru buat gue. Sesuatu yang tanpa
ikatan. Tapi sebenernya bisa saling mengikat. Sesuatu yang tanpa kejelasan. Tapi
sebenernya udah saling menjelaskan. Sesuatu yang seperti pertemanan biasa. Tapi
sebenernya sama sama merasakan lebih dari teman. Bebas. Cuma itu yang paling
jelas. Kita udah sama-sama membahas ini berulang-ulang hingga akhirnya kita
berani mengambil 3 aturan dalam hal ini.
Percaya. Menghargai. Komitmen.
Ini cukup memberi angin segar buat gue. Karena walaupun
tanpa ikatan dia tetap bersedia percaya, menghargai dan berkomitmen dengan gue.
Dimana akan ada saatnya gue melihat dia menemukan wanita
lain dan berpaling. Atau gue yang menemukan pria lain.
Akibat itu yang paling fatal buat gue. Saat dimana dia
menjelaskan hal abu-abu ini. Saat dimana dia berkata “kalo kamu nemuin cowo lain
yang lebih baik dari aku, ya aku berhak ngelepas kamu. Dan saat aku nemuni cewe
lain, kamu juga berhak ngelepas aku”. Mungkin kata yg pas bukan “berhak” tapi “terpaksa”.
Saat itulah gue mencoba mundur dari ini semua. Tapi setelah gue bercerita
dengan teman-teman lain, saat itulah gue
merasa harus memperjuangkan ini. Dimana dia berani untuk maju, dan gue
memutuskan untuk maju juga. Kenapa dia berani dan gue engga?
Saat itulah semuanya berjalan. Benar-benar bebas. Kita emang
bukan sepasang kekasih. Tapi kita tau kita lebih dari teman. Kita bukan
sepasang sahabat. Tapi kita tau kita lebih private dari sahabat. Kita menjalani
sesuatu yang tidak biasa menurut gue. Ketidakbiasaan ini memberikan suatu
pengalaman dan cara berpikir baru juga. Membuat gue merasa lebih dewasa. Merasa
lebih baik. Seperti dikeadaan mau bete dan ngambek ke pacar, tapi gue engga mau
kaya gitu karena gue bukan pacar. Seperti dikeadaan mau cemburu ke pacar, tapi
gue engga mau kaya gitu karena gue bukan pacar. Sedikit meminimalisir hal-hal
tidak perlu seperti itu. Baik bukan? Ya memang baik.
Kita sama-sama saling nyaman. Terlalu nyaman mungkin. Sudah seperti
pacaran. Tapi kita gak pacaran. 3 aturan yang telah dibuat bener-bener gue
terapkan. Atau gue terlalu menerapkan? Kata komitmen mungkin seharusnya
dihapus. Bukannya komitmen buat pacaran doang ya? Engga juga. Dalam hal ini
kita juga bisa saling komitmen. tapi mungkin penerapannya yang kurang. Karena kita
gak pacaran.
Kita menye-menyean. Ini yang selalu gue tunggu. Bener-bener
seneng. Kaya dianggep pacar, tapi kita gak pacaran.
Gue bukan pacarnya. Hmmm kita
sama sama takut. Takut hal ini hanya sepintas lalu saja. Gue juga takut. Gue ga
berani mencapai garis finish. Emang gue kuat? Gue udah terlalu nyaman dan gamau
mikir ujung sakitnya. Kenapa gak dijalanin dulu dan fokus dengan ini? gak usah
pusingin apa yang bakal terjadi di garis finish nanti. Itu yang selalu gue
bilang dan dia mengiyakan.
Sampe beberapa waktu ini. waktu dimana gue mikir kayanya ini
akan berakhir. Dimana dia terlihat tidak seantusias biasanya. Tidak setertarik
biasanya. Gue mencoba meyakinkan diri kalo emang akibat dari ini semua akan
muncul nantinya. Gue memberanikan diri menyatakan gue kuat dan bisa menghadapi
ini.
Tapi gue ga sekuat itu. Gue cewe biasa. Selama ini kesalahan
gue adalah menganggap dia spesial. Dia memang spesial. Terlalu spesial, dan
gabisa dibilang temen biasa. Dia juga mengatakan hal yang sama ke gue. Jadi wajar
kan? Ternyata engga. Kalo awal-awal deket, gue merasa dia lebih antusias,
beberapa waktu ini gue merasa dia berkurang antusiasnya dan gue merasa lebih
antusias. Bukannya ini hal biasa dalam satu hubungan? Ada masa bosan disalah
satu pelakunya. Bukannya ini bisa diatasi kalo emang kedua belah pihak mencoba
dan berjuang? Gue gak mau pamrih. Tapi gue merasa gue udah berjuang di awal ini
dimulai. Berjuang dengan berani memulai ini. tapi dia pernah menyilakan gue
kalo gue emang mau berenti. Dan gue menolak untuk berenti.
Sampai pada malam ini gue mengerti tentang perasaan ini.
pasti ada sebab yang kuat kenapa gue menulis ini. dimana gue mencoba membangun
kemenye-menyean yang menjadi topik paling seru saat kita bbman.
“udah lama ya gak
menye-menyean sama kamu”
“tapi menurutku
menye-menyean jaman dulu banget”
“oh yaudah gausah
menye-menyean lagi”
“noted. Oke sip”
“ini sedih, eh ga
jadi deng oke”
------not
replied-----
Suatu hmmm bukan tamparan, bukan tusukan. Seperti gunting
yang sangat jelas fungsinya untuk memotong, membagi, memisahkan atau memutuskan
menjadi 2 bagian. Sangat jelas. Terlalu amat jelas. Atau gue terlalu negatif?
Dimana dia terus terang benar-benar tidak ingin menye lagi. Dimana
gue sadar gue membangun ini sendirian. Dimana gue ngerti kalo dia udah ga
berjuang lagi buat ini. atau gue salah kira? Terlalu negatif? Cuma itu yg ada
dipikiran gue sekarang. Dia ga berusaha untuk maju. Dan mungkin ini buah dari
ketidakantusiasan dia beberapa waktu ini. mungkin ini jawabannya.
Gue ga berani ngebahas ini. gue bairin aja. Biar dia yang
mengakhiri. Terlalu sedih untuk menerima kenyataan ini. merelakan orang yang
harusnya emang dari awal siap gue relakan. Terlalu cepat juga. Secepat kita
yang baru kenal deket dan memutuskan untuk memulai.
Ayo gapapa. Kaya baru putus dan harus siap melupakan. Bukan melupakan,
karena gue ga akan pernah lupa. Mungkin mengenang, karena semua ini hanya untuk
dikenang. Jelas karena tidak bisa dijalani lagi. Apa gue terlalu cepat
mengambil kesimpulan? Kalo semua ini gue salah ngira, kenapa dia ga bales bbm? Kalo
emang dia masih ingin berjuang kenapa dia ga mencoba mengganti topik dan bales
bbm? apa bbm terakhir gue ga untuk dibales? Kalo dia mikir gitu, yasudah.
Kita liat besok. Gue terlalu capek untuk berharap dia bbm
gue besok. Jangan berharap? Gue cewe, semua cewe sama. Semua pake perasaan. Dia
pake logika ngomong tentang hal ini. Gue Cuma diem merasakan kegetaran dihati
gue dan ga bersuara.
Disaat gue merasa hal ini bisa gue pelihara dan menjadikan
gue lebih dewasa, dan hal ini jugalah yang menahan gue untuk tetap menjadi anak
kecil yang sedih karena harus merelakan permen yang terlalu dicintainya.
Gue gabisa berjuang sendirian. Mungkin bisa. Tapi sampe
kapan? Gue gak terlalu kuat untuk menahan ini terlalu lama. Gue ga mau ngeluh. Tapi
gue capek untuk selalu memulai dan antusias sendiri.
-karena tepuk tangan pun membutuhkan dua tangan dan berjalan
membutuhkan dua kaki
Comments
Post a Comment